Bisnisdigital.umsida.ac.id – Ekonomi digital bergerak lebih cepat daripada birokrasi.
Ketika sebuah aplikasi baru lahir, ia bisa menjangkau jutaan pengguna, menciptakan pasar baru, dan mengubah cara orang bekerja.
Pada saat yang sama, pemerintah memikul mandat menjaga keadilan, keamanan, dan kepastian hukum.
Di titik inilah regulasi bisnis digital sering diperdebatkan: apakah ia rem yang menahan laju inovasi, atau sabuk pengaman yang membuat inovasi bertahan lebih lama.
Bagi kampus dan pelaku usaha, isu ini berdampak nyata: dari biaya kepatuhan, desain produk, sampai kepercayaan publik.
Kuncinya bukan memilih kubu pro atau kontra, melainkan menilai kualitas aturannya: adaptif, jelas, dan konsisten.
Baca juga: Pemimpin Perempuan Berdaya: Dekan FBHIS Umsida Sabet Outstanding GAD Partners Award
Ketika Regulasi Menghambat Inovasi

Regulasi cenderung menghambat ketika aturan terlalu rinci untuk teknologi yang cepat berubah.
Jika ketentuan teknis dibuat kaku, pelaku usaha terdorong menyesuaikan produk demi memenuhi pasal, bukan demi menjawab kebutuhan pengguna.
Dampaknya muncul inovasi yang defensif: fitur baru ditahan, energi startup habis untuk administrasi, dan eksperimen berhenti sebelum mencapai pasar.
Hambatan lain adalah tumpang tindih kebijakan antar lembaga.
Satu layanan digital bisa menyentuh isu data, transaksi, iklan, perpajakan, hingga ketenagakerjaan.
Jika interpretasi berbeda-beda, ketidakpastian meningkat dan investor menahan keputusan.
Untuk UMKM yang baru naik kelas ke ranah online, kerumitan ini menciptakan biaya masuk yang tidak terlihat; banyak yang akhirnya bertahan di skala kecil atau memilih jalur informal.
Lihat juga: Cybersecurity: Investasi Mahal yang Sering Diabaikan Startup
Regulasi yang Melindungi dan Mendorong Pertumbuhan
Di sisi lain, regulasi yang baik justru menjadi fondasi pertumbuhan.
Tanpa perlindungan konsumen, keamanan data, dan standar transaksi, pasar digital mudah kehilangan kepercayaan.
Kepercayaan adalah mata uang utama bisnis digital; sekali publik merasa tidak aman, biaya pemulihan reputasi jauh lebih mahal daripada biaya patuh sejak awal.
Regulasi juga dapat menciptakan level playing field. Platform besar punya sumber daya untuk mengelola risiko hukum dan teknologi; tanpa aturan yang adil, mereka bisa mendominasi dan menutup ruang kompetisi.
Ketentuan tentang transparansi, persaingan sehat, serta tanggung jawab platform membantu inovasi kecil bersaing lewat kualitas layanan, bukan lewat praktik yang timpang.
Agar regulasi tidak berubah menjadi penghalang, arah yang lebih produktif adalah pendekatan berbasis prinsip: fokus pada tujuan aman, adil, dan transparan tanpa mengunci cara teknisnya.
Pemerintah dapat memperluas mekanisme sandbox untuk uji coba terbatas, menyederhanakan perizinan melalui satu pintu digital, dan memastikan harmonisasi aturan agar pelaku usaha tidak berputar di tafsir yang saling bertabrakan.
Perusahaan juga perlu membangun kepatuhan sebagai bagian dari desain produk, sehingga mitigasi risiko berjalan seiring dengan pengembangan fitur.
Setiap aturan baru sebaiknya disertai masa transisi yang realistis, evaluasi berkala, dan kanal umpan balik bagi startup serta UMKM.
Perguruan tinggi dapat mengisi celah ini lewat riset kebijakan, audit etika teknologi, dan inkubator yang melatih startup memahami aspek hukum sejak awal.
Jika dialog rutin terbentuk, regulasi menjadi pagar yang memberi arah, sementara inovasi tetap leluasa bergerak di dalamnya dan menghasilkan manfaat publik yang lebih luas.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah










