Bisnisdigital.umsida.ac.id – Fenomena burnout di kalangan profesional muda semakin sering terdengar, terutama di dunia startup digital.
Gaya kerja cepat, lembur tanpa henti, dan glorifikasi produktivitas ekstrem kerap dianggap normal.
Bagaimana sebenarnya kondisi ekosistem kerja startup saat ini? Apakah budaya kerja semacam ini masih bisa disebut sehat?
Budaya Hustle dan Normalisasi Kerja Lembur
Dalam dunia startup, kerja keras sering kali diterjemahkan sebagai kerja terus-menerus.

Budaya hustle yang mengagungkan “kerja lembur adalah bentuk dedikasi” menjelma menjadi standar tak tertulis yang menuntut karyawan untuk selalu siap 24/7.
Ruang kerja yang seharusnya inovatif dan fleksibel justru berubah menjadi tempat di mana batas antara hidup dan pekerjaan menjadi kabur.
Studi LinkedIn tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 60% profesional muda di sektor teknologi digital mengalami burnout, dengan penyebab utama berupa beban kerja berlebihan, tekanan ekspektasi, dan kurangnya waktu istirahat.
Burnout yang didefinisikan oleh WHO sebagai sindrom akibat stres kerja kronis yang belum berhasil dikelola muncul dalam bentuk kelelahan emosional, sinisme terhadap pekerjaan, dan penurunan kinerja.
Sayangnya, banyak perusahaan rintisan justru mempromosikan kultur kerja ini sebagai ‘normal’ atau bahkan ‘keren’.
Lembur dianggap bukti loyalitas, dan istirahat dianggap kelemahan. Ini mengarah pada toxic productivity sebuah kondisi di mana seseorang merasa bersalah jika tidak produktif sepanjang waktu.
Alih-alih mendukung pertumbuhan manusia, lingkungan ini menciptakan tekanan yang melelahkan dan tidak berkelanjutan.
Baca juga: Indonesia Masuk BRICS dan Masa Depan Ekonomi Global Pendidikan Ekonomi Harus Siap Menyambut Era Baru
Mimpi Startup vs Realita Tenaga Kerja
Di permukaan, startup sering dikemas sebagai tempat kerja impian kantor modern, budaya kerja fleksibel, dan peluang berkembang yang luas.

Namun di balik branding tersebut, tidak sedikit pekerja yang justru merasa terjebak dalam ritme kerja yang tak manusiawi.
Tidak adanya jam kerja tetap, target yang tinggi, dan tekanan dari investor membuat banyak pegawai startup mengalami kelelahan mental.
Eric Ries dalam bukunya The Startup Way memang mendorong pola pikir eksperimental dan cepat beradaptasi dalam dunia bisnis baru.
Namun sayangnya, semangat ini kerap disalahartikan menjadi tuntutan kerja tanpa henti.
Alih-alih menciptakan ruang yang mendukung kreativitas dan kolaborasi, budaya kerja startup justru berubah menjadi mesin produktivitas yang tidak peduli terhadap kesehatan mental karyawannya.
Sebagai pekerja muda, kita perlu lebih kritis dalam memandang ekosistem kerja.
Mimpi membangun karier yang cepat dan cemerlang tidak seharusnya dibayar dengan kesehatan fisik dan mental.
Apalagi, banyak startup gagal dalam beberapa tahun pertama, meninggalkan pekerja dalam kondisi kelelahan tanpa jaminan stabilitas kerja.
Lihat juga: UMKM dan Digitalisasi: Peluang Atau Ancaman?
Menuju Ekosistem Kerja yang Lebih Sehat
Sudah saatnya merefleksikan ulang nilai-nilai kerjanya. Membangun bisnis inovatif tidak berarti mengorbankan kesejahteraan karyawan.
Kesehatan mental harus menjadi prioritas, bukan hanya fasilitas tambahan. Perusahaan perlu membangun sistem kerja yang menghargai jam istirahat, menerapkan fleksibilitas kerja yang nyata, dan menghilangkan glorifikasi lembur sebagai norma.
Bagi para pemimpin, penting untuk menyadari bahwa produktivitas yang berkelanjutan hanya bisa dicapai jika karyawan merasa sehat dan dihargai.
Menjadikan lingkungan kerja sebagai tempat bertumbuh, bukan medan pertempuran, akan menciptakan loyalitas jangka panjang dan budaya organisasi yang lebih kuat.
Sebagai generasi muda, kita juga perlu belajar menetapkan batas. Menolak lembur berlebihan bukan berarti tidak loyal, melainkan bentuk self-care yang rasional.
Startup yang sehat bukan hanya soal valuasi tinggi, tapi juga tentang bagaimana ia memperlakukan orang-orang di dalamnya.
Mimpi Startup vs Realita Tenaga Kerja
Fenomena burnout ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada kinerja tim secara keseluruhan.
Lingkungan kerja yang dipenuhi kelelahan dan tekanan tinggi akan menurunkan kreativitas, meningkatkan turnover, dan bahkan merusak reputasi perusahaan dalam jangka panjang.
Banyak startup justru kehilangan talenta terbaik mereka karena gagal menciptakan budaya kerja yang manusiawi dan suportif.
Ironisnya, banyak perusahaan startup memasukkan istilah seperti “work-life balance” dalam iklan lowongan kerja mereka, tetapi realisasinya jauh dari harapan.
Karyawan sering merasa bersalah ketika ingin mengambil cuti, dan rapat di luar jam kerja dianggap hal biasa.
Ketimpangan antara narasi dan praktik inilah yang membuat banyak pekerja muda kini mulai mempertanyakan apakah ekosistem startup benar-benar layak untuk dijadikan tempat berkarier jangka panjang.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah